Memaknai Kebahagiaan
Akan aku ceritakan padamu tentang suatu malam sunyi, hanya ada aku dan
keasingan. Hasrat hasrat manis serta susunan hari lalu telah kuringkas dalam
air mata suci yang tak perlu mengalir. Inilah airmata yang dicintai. Ia menetes
dalam buluh buluh hati, berlinang dalam darah dan berhenti saat masuk dalam
pembuluh tawa dunia. Ada masanya kita memandang dunia ini bagai sebuah 'bola
yang diperebutkan' dan adakalanya ia menjadi 'bola mati' yang harus kau
tinggalkan. Dua matamu akan pedih saat kau memandang kesedihan. Tetapi apakah
hatimu melakukan tindakan airmata ketika di atas meja hidupmu, seseorang datang
dan meletakkan gunung emas ?. Airmataku menetes. Sementara, kesedihan tidak
pernah menyesal memandangi kita. Kesedihan seperti tamu agung yang berulang
kali datang saat jiwa kita tidak pernah merasa siap menikmati segelas airmata
anggun. Ia tidak pernah ragu memaksa kita meneguknya. Sekalipun tegukan itu
berakhir dengan senyum pahit kematian.
Suatu masa yang lain, tubuh kita berada dalam sungai jiwa, air bening
keriangan mengecup tiap pori
kita tanpa memilih, kita berenang sesuka perasaan dan mengejar ujung sungai
dengan harapan yang tumpah di kepala. Itu kebahagiaan lain, itulah kecintaan
darah yang menghubungkan 'arti keluarga dan pembelaan'. Kita pernah bersama
perjuangkan harkat untuk jabatan dunia yang membuat kita tersenyum, di airmata
lain, kita pernah begitu bahagia mana kala kita mampu menyeka belai mata bunda
yang basah dengan saputangan cinta. Berapakalikah airmata tumpah dalam meja
hidup kita? aku coba mengingatnya. Dalam ingatan yang lain, suatu malam yang
mendera, dalam rasa lapar yang getir, sementara di atas meja dapur hari kita,
hanya tersisa sekeping nasi dingin yang kusam.
Kau menangis saat itu.Namun saat mengingatnya, itulah kecupan rasa
bahagia. Kebahagiaan terdekat adalah saat kau masih bisa mengenang betapa kau
mampu melewati hari-hari sempit penuh nyilu yang meranggas di bukit bukit waktu
hingga bintang menggugurkan sinar sajaknya pada sisi hidupmu. Kebahagiaan bukan
surga yang lantas harus kau habisi dengan melupakan wangi gelas kesedihan.
Kebahagiaan seperti kau berada pada ketinggian menara, kita berdiri bebas
melahap angin basah, sementara jauh di depan sana, dalam ufuk langit lain, gunung tinggi
yang tak kalah anggun, tengah menyapa kita dengan senyum dingin penuh arti,
dalam warna kabut yang sulit kita pelihara.
Jambi 2010-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar